Sejarah berdirinya Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan
tidak dapat dilepaskan dari peran serta Mgr. Petrus Joannes Willekens, SJ, Vikaris
Apostolik Batavia (1933-1952). Salah satu hal yang melatarbelakangi, ia
mendirikan Seminari Tinggi untuk pendidikan para calon imam diosesan di
Indonesia, adalah adanya keprihatinan Paus Benediktus XV yang di tulis dalam
Surat Apostolik Maximum Illud pada tahun 1919. Tragedi Perang Dunia I
mengakibatkan kekacauan di Eropa, salah satu dampak yang dirasakan bagi Gereja
adalah, pengiriman tenaga misi menjadi lamban atau bahkan berkurang drastis.
Oleh karenanya Maximum Illud melihat semakin mendesaknya kebutuhan akan imam
pribumi
dan penguasaan bahasa lokal justru karena adanya situasi politik di beberapa
negara yang mulai mengusir orang asing berkaitan dengan gerakan kemerdekaan.
Menguasai bahasa lokal dapat menjadi modal untuk diterima, tetapi juga sebagai
bentuk kesediaan menerima dan menghormati budaya setempat. Oleh sebab itu Mgr.
Petrus Joannes Willekens, SJ berkehendak untuk mendirikan Seminari Tinggi, sebagai
tempat pendidikan lanjutan bagi lulusan dari Seminari Menengah yang pada tahun
1911 didirikan oleh Mgr. Antonius van Velsen (Vikaris Apostolik Batavia).
Didasarkan pula pada visi untuk membangun Gereja Pribumi atau Gereja Lokal yang
kokoh dan mandiri, maka pada tanggal 15 Agustus 1936 secara sah diresmikan
pendirian Seminari Tinggi St. Paulus di Muntilan. Situasi politik yang tidak
menentu pada masa itu mengakibatkan Seminari Tinggi harus mengalami perpindahan
berulang kali. Pada tanggal 3 September 1938, Seminari Tinggi berada di
Mertoyudan, lalu pada bulan Januari 1941 berpindah lagi ke Jl. Code,
Yogyakarta. Tanggal 24 Januari 1942, setahun kemudian, Seminari Tinggi pindah
ke Girisonta, lalu tiga hari kemudian, 27 Januari 1942, Seminari Tinggi pindah
lagi ke kompleks Suster-suster CB, di Jl. Colombo Yogyakarta. Tanggal 29 Juli
1944, Seminari Tinggi pindah ke kompleks asrama Boedi Oetomo,
Sindunegaran,Yoyakarta, dan pada tanggal 10 Desember 1945, Seminari Tinggi pindah
ke Kolose Ignatius, Yogyakarta, sebelum pindah ke Jl. Code pada tanggal 20
Agustus 1952. Akhirnya,pada tanggal 6 Januari 1968, Seminari Tinggi mendapatkan
tempat di daerah Kayen, Kentungan, Yogyakarta. Pada awal berdirinya, tahun
1936, ada lima orang calon imam diosesan yang memulai pendidikan di Seminari
Tinggi, yang pada
waktu itu masih bertempat di Muntilan. Setelah menjalani proses pendidikan
selama enam tahun, empat dari lima siswa calon imam diosesan tersebut akhirnya
pada tanggal 28 Juli 1942 ditahbiskan menjadi imam diosesan (praja) di Gereja
St. Yusuf, Bintaran, Yogyakarta oleh Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ. Keempat
imam yang ditahbiskan itu adalah: Rm. Aloysius Purwadihardja ( KAS), Rm.
Hubertus Voogt ( Keuskupan Padang), Rm. Simon dan Rm. Lengkong; keduanya adalah
imam untuk keuskupan Manado. Sampai pada tahun 1968, tercatat ada 72 imam diosesan
dari sepuluh keuskupan. Bahkan tidak hanya keuskupan-keuskupan yang mengirimkan
para calon imamnya untuk menjalani pendidikan di Seminari Tinggi, namun
beberapa kongregasi juga pernah mengirimkan para calon imamnya untuk menjalani
formation di Seminari Tinggi, yaitu OCSO dan OMI. Berdasarkan awal sejarahnya,
Seminari Tinggi yang pada mulanya didirikan di Muntilan ini adalah milik Vikariat
Apostolik Batavia, namun sejak tahun 1940, lembaga Seminari Tinggi St. Paulus
ini berada di bawah reksa pastoral Vikariat Semarang. Adanya beberapa keuskupan
(dan juga pernah beberapa kongregasi religius) yang mengirimkan calon imamnya
untuk menjalani pendidikan di Seminari Tinggi ini menjadi bukti bahwa Seminari
Tinggi ini memiliki ciri inter-diosesan yang mengembangkan wawasan panggilan,
perutusan, dan pelayanan untuk gereja secara luas, tidak hanya melulu melayani
gereja di Keuskupan Agung Semarang saja. Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan Yogyakarta,
sebagai tempat pendidikan calon imam diosesan, kini dalam perjalanannya masih
mendidik para calon imam (frater) dan imam-imam yang melanjutkan studi dari
tiga keuskupan, Keuskupan Agung Semarang, Keuskupan Agung Jakarta, dan
Keuskupan Purwokerto. Bagi para calon imam untuk Keuskupan Agung Jakarta secara
khusus menjalani proses pendidikan di Seminari Tinggi St. Paulus, sebagai lanjutan
studi filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan kini harus melanjutkan
studi teologi sebagai bagian terakhir dari proses pendidikan calon imam di Fakultas
Teologi Kepausan Wedabhakti di Yogyakarta.